Thursday, January 26, 2012

Kepahlawanan RA Kartini dan Campur Tangan Kolonial Belanda-Freemason Bag.2


Siapa sebenarnya Kartini ?
Nama Kartini sebenarnya baru meledak sedemikian tenar pasca diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya (Korespondensi) dengan para Nonik Belanda. Kumpulan surat yang diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) itu sendiri diterbitkan 14 tahun setelah kematiannya. Dan inilah yang patut digaris bawahi, penerbitnya adalah Belanda sang penjajah negeri ini. Menjadi menarik jika kita cermati apakah gerangan maksud Belanda di balik semua itu. Mengapa kita patut curiga dengan maksud negeri yang tlah mengeruk kekayaan perut Indonesia selama 3,5 Abad ini. Karena tidak mungkin negara yang tabiatnya adalah penjajah melakukannya dengan tanpa tujuan yang besar di baliknya. Belanda boleh saja tak menjajah Indonesia lagi secara fisik namun haram bagi mereka jika melepaskan Indonesia secara cuma-cuma karena negara inilah (baca: Indonesia) yang telah menghidupi negeri Kincir Angin tersebut selama 350 Tahun. Pengkultusan Kartini adalah salah satu buah manis yang dihasilkan dari penanaman benih sejarah oleh Belanda melalui diterbitkannya buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Melalui buku itu Belanda ingin mendoktrin otak-otak generasi Indonesia selanjutnya (utamanya wanitanya) agar mempelajari sosok Kartini dan meniru serta melanjutkan ide-ide Kartini yang tentunya telah dipoles sedemikian rupa oleh Belanda. Jika kita berfikir lebih jernih, mengapa hanya Kartini saja tokoh wanita yang di Blow-Up sebegitu besarnya dalam sejarah yang dikonstruksi oleh Belanda? Bukankah di negeri ini dahulu juga banyak tokoh wanita yang juga tak kalah dengan Kartini dan bahkan lebih hebat dan besar jasanya bagi bangsa ini daripada Kartini. Jika Kartini hanya berkutat pada ide-ide dan diskusi dengan para Tokoh Belanda melalui surat-menyurat, maka masih lebih hebat Dewi Sartika (1884-1947) yang tidak hanya sekedar berwacana tentang pendidikan kaum wanita, namun juga mendirikan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Kemudian ada lagi Rohana Kudus yang menyebarkan ide-idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). Apalagi dengan Cut Nyak Dhien yang merupakan sosok wanita pejuang yang sangat tangguh hingga membuat Belanda sangat merasa terancam dengan pengaruh wanita yang satu ini di tengah-tengah masyarakat Aceh kala itu. Beliau berjuang bahkan dengan mengangkat senjata bahu-membahu hingga akhir nafasnya bersama sang suami, Teuku Umar. Nah, bandingkan dengan Kartini. Sungguh mereka lebih hebat daripada Kartini yang masih berkutat pada wilayah ide-ide dan cita-cita saja. Contohnya adalah Rohana Kudus yang sangat kenyang dalam merasakan tekanan pihak penjajah Belanda. Terbukti dengan sering dibredelnya media massa yang dipimpinnya oleh Belanda kala itu. Cut Nyak Dhien, jangan tanya lagi, meski seorang perempuan namun Belanda menganggapnya sama berbahayanya dengan para pejuang laki-laki. Jiwa, harta dan segala miliknya adalah sesuatu yang sungguh sangat ingin dimatikan oleh Belanda. Lantas mengapa hanya Kartini yang dielu-elukan hari ini.

Awas Proyek Kartini-sasi

Di balik Kartini

Di balik Kartini
Mengapa hanya Kartini sosok wanita yang hingga kini dikultuskan sebagai Tokoh Inspirator bagi para kaum hawa di negeri ini. Hal ini nampaknya tak lain adalah merupakan sisa-sisa proyek Belanda yang ingin meracuni otak anak-anak Indonesia melalui pembelokkan sejarah yang dibentuknya. Ingat, Kartini mulai melejit namanya pasca diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya oleh Belanda. Kartini lebih disukai Belanda karena tidak membahayakan kepentingan Belanda. Karena tidak ada gerakan nyata darinya yang memberi pengaruh luas pada masyarakatnya kala itu. Kartini adalah anak priyayi alias dari kalangan ningrat yang pergaulannya sangat terbatas, hingga tak mungkin baginya bergaul dengan rakyat jelata, karena kala itu masih berlaku sistem Kasta Sosial. Maka wajar saja jika Harsja W. Bahtiar dalam artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” yang terangkum dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4) melakukan gugatan terhadap penokohan Kartini. Harsja W. Bahtiar menilai bahwa selama ini kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia sebenarnya lebih kepada konstruk (bentukan) orang-orang Belanda.


Jika tokoh-tokoh Muslimah seperti Dewi Sartika, Rohana Kudus, Cut Nyak Dhien dan masih banyak tokoh wanita hebat lain tidak diangkat sejarahnya seperti yang dilakukan Belanda kepada Kartini maka itu sangat beralasan. Karena Belanda memiliki beberapa alasan penting, diantaranya adalah :

    Cut Nyak Dhien, Rohana Kudus, dan Dewi Sartika selain merupakan para sosok wanita yang sumbangsih nyata-nya sangat besar bagi masyarakat dan bangsa, mereka juga adalah figur Muslimah yang taat dan Belanda sangat takut akan hal itu. Karena menurut pendapat Snouck Hurgonje (Orientalis kesohor) yang merupakan tokoh yang pendapatnya sangat mempengaruhi Belanda dalam mengambil tiap kebijakan bagi daerah jajahannya pernah mengatakan bahwa golongan yang paling keras terhadap Belanda adalah Islam. Nah jika para wanita Islam dan generasi penerusnya mewarisi semangat dan karya para tokoh muslimah seperti Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika dan Rohana Kudus maka dapat dipastikan Belanda tidak akan bisa bertahan lama tuk terus mencengkram Indonesia. Apalagi jika wanita Muslimah itu berpendidikan dan memiliki semangat belajar dan mengamalkan ilmunya seperti Dewi Sartika dan Rohana Kudus yang berjuang melalui jalur pendidikan bagi masyarakat, tentunya akan membuat Belanda semakin sulit menggenggam Indonesia lebih lama lagi. Hal ini berbeda dengan Kartini yang paham ke-Islamannya kala itu masih rendah dan cenderung berpaham Pluralisme alias menyamaratakan semua agama yang tentunya daya militansi “Pemberontakannya” tidak keras dan cenderung jinak. Ingat, Kartini baru tertarik mendalami Islam lebih dalam hanya sebentar saja di saat akhir hidupnya dimana kala itu beliau banyak mengaji kepada Kyai Sholeh Darat dari Semarang. Berikut salah satu isi suratnya yang nampak jelas menggambarkan bahwa agama dalam benaknya tak lain hanya sekedar hal sepele belaka,”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan,adalah bunyi tanpa makna.” (Surat Kartini Kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902)

    Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika dan Rohana Kudus sangat anti penjajah Belanda dan sangat gigih melawan mereka dalam bidang masing-masing. Berbeda dengan Kartini yang pergaulannya agak eksklusive yaitu dengan para tokoh Belanda meski lewat korespondensi (surat-menyurat). Selain itu Kartini juga nampaknya amat kagum dengan negeri Belanda sang penjajah negaranya. Terbukti dengan cita-citanya yang sangat ingin belajar ke Belanda. Seperti yang tertuang dalam suratnya yang berbunyi,“Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland (Belanda), karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih” (kepada Ny. Ovinksoer, 1900).

Bandingkan dengan Cut Nyak Dhien yang tak mau berkompromi dan sangat membenci Belanda. Sungguh inilah nampaknya juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Kartini sangat di-anak emas-kan oleh Belanda sehingga sejarah mengenai dirinya begitu agung, meski sesungguhnya dia tak layak untuk itu. Maka dari sini kita dapat menarik sebuah benang merah mengapa kini hanya Kartini yang sejarahnya begitu gencar dipublikasikan dan bahkan hari kelahiranya sering diperingati secara meriah mulai dari pemakaian Kebaya oleh para wanita negeri ini di hari tersebut hingga kegiatan-kegiatan seremonial lainnya. Padahal jika boleh dikata tokoh ini masih dalam tahap bercita-cita serta bermimpi dan belum bergerak secara nyata dan sumbangsihnya bagi masyarakatnya kala itu juga tidak terlalu mencolok. Lantas mengapa justru Kartini yang diagung-agungkan sebagai Putri Indonesia yang mulia dan membanggakan? Ah nampaknya kita memang lebih senang kepada tokoh yang koar-koarnya dan ucapannya indah meski tindakannya belum nyata ada (No Action Talk Only). Sama seperti kasus penganugerahan Nobel Perdamaian bagi Obama yang banyak dikritik oleh banyak masyarakat dunia karena sebenarnya dia tidak layak untuk itu sebab Obama –menurut mereka- hanya pandai berpidato namun Actionnya jauh dari apa yang diharapkan.

So, jika hingga hari ini Kartini masih dikultuskan sedemikian rupa, itu adalah hasil rekayasa manis pihak-pihak tertentu yang ingin terus membelokkan sejarah bangsa ini yang Shahih dan asli. Belanda dan pihak-pihak yang berkepentingan mencengkeram Indonesia ingin agar generasi baru Indonesia, terutama wanitanya,supaya menjadi seperti Kartini yang jinak pada Barat, dan paham keagamaannya Pluralis alias tidak fanatik dan taat pada agamanya. Mengapa demikian? Karena Islam adalah musuh yang sangat ditakuti Barat/penjajah (seperti kata Snouck Hurgonje). Dan jika semua itu berjalan sesuai Proyek mereka, maka bangsa Indonesia ini akan tetap mudah mereka kontrol.

0 comments:

Post a Comment