|  |  Kingdom  Fungi merupakan salah satu kelompok organisme yang memiliki tingkat  keragaman hayati yang tinggi, dan kedua setelah insekta. Hawksworth  (1991) memprediksi sekitar 1,5 juta jenis jamur eksis di planet bumi.  Prediksi konservatif ini didasarkan kepada rasio inang-jamur (1:6),  artinya satu tumbuhan vaskular berasosiasi dengan 6 jenis jamur yang  spesifik pada tumbuhan inangnya. Sampai saat ini, hanya sekitar 7-10%  (105.000-150.000 jenis) dari total perkiraan 1,5 juta jenis jamur yang  telah berhasil diidentifikasi. Sayangnya, hanya sekitar 5-10% dari  spesies jamurtersebut yang berhasil diisolasi. Oleh karena itu, sebagian  besar jamur masih perlu dieksplorasi, diidentifikasi, dikonservasi, dan  dimanfaatkan. Prediksi 1,5 juta jenis adalah data penelitian di Inggris  Raya dan Eropa, oleh karena itu Hyde (2001) mengungkapkan pentingya data  dari kawasan tropis. Tingkat keragaman di kawasan tropis diprediksi  lebih tinggi, walaupun hipotesis ini masih belum dapat dibuktikan secara  ilmiah. Sehubungan dengan itu, ada beberapa isu yang harus ditelaah  lebih dalam kaitannya dengan ekplorasi ‘the missing fungi’ kawasan  tropis.
 
 ‘The missing fungi’ dan kawasan yang tidak pernah/jarang dieksplorasi
 
 Berdasarkan hasil penelitian di Hong Kong selama 10 tahun, hasilnya  mengungkapkan bahwa data jumlah jenis jamur meningkat empat kali lipat  dari sekitar 500 jenis menjadi 2125 jenis, dan 150 jenis di antaranya  adalah jenis baru. Jumlah ini masih akan terus bertambah mengingat  jumlah tersebut hasil ekplorasi hanya terhadap 10 jenis tumbuhan dari  kelompok bambu dan palm saja. Informasi ini menunjukkan bahwa pada  kawasan-kawasan yang tidak atau belum terekplorasi masih menyimpan  keragaman jamur yang tinggi dan berpotensi mengungkap keberadaan  ‘the  missing fungi’ tersebut.
 
 Kawasan seperti itu tersebar luas di daerah tropis di Indonesia,  Amerika Selatan, dan sebagian Afrika. Namun, cepatnya penurunan areal  hutan tropis bisa dipastikan bahwa banyak jenis dari ‘the missing fungi’  sebagai sumber daya genetik potensial yang akan hilang.
 
 ‘The missing fungi’ dan kelompok tumbuhan inang yang tidak pernah/jarang dieksplorasi.
 
 Hasil-hasil penelitian terhadap keluarga tumbuhan seperti Arecaceae,  Musaceae, Pandanaceae, Poaceae (khusunya bambu), dan Zingiberaceae  menyimpan potensi sebagai habitat atau inang bagi berbagai jamur  (saprobik, endofitik, atau penyakit) yang unik dan spesifik. Keluarga  Arecaceae merupakan inang yang ditinggali ragam jamur yang sangat tinggi  Sebanyak 240 jenis jamur berhasil diidentifikasi hanya dari 3 jenis  palm, dan 95 jenis jamur itu adalah jenis baru! Index Fungorum  (http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp) dan SMML fungus-host
 database(http://nt.ars-grin.gov/fungaldatabases/fungushost/fungushost.cfm),  menginformasikan bahwa lebih dari 2500 jenis jamur telah berhasil  diidentifikasi yang inangnya keluarga Arecaceae. Sekitar 800-900 jenis  jamur berasosiasi dengan Pandanaceae, sedangkan sekitar 587 jenis jamur  teridentifikasi berasosiasi dengan bambu. Tingkat keragaman jenis jamur  yang berasosiasi dengan tumbuhan dari keluarga Musaceae dan  Zingiberaceae tidak setinggi Arecaceae. Hanya 300 jenis jamur diketahui  berasosiasi dengan 37 jenis Musa, dan 170 jenis jamur yang berasosiasi  dengan 80 jenis dari keluarga
 Zingiberaceae.
 
 ‘The missing fungi’ dan habitat atau relung yang jarang diekplorasi
 
 Sampai tahun 1993, dari total 288 jenis jamur yang telah  diinventarisasi dari daerah perairan air tawar, hanya 11 jenis jamur  yang berasal dari daerah tropis. Hasil penelitian yang intensif pada  tahun 2001 di daerah perairan tawar mengidentifikasi 150 jamur jenis  baru, dan lebih dari 60 jenis jamur baru juga berhasil ditemukan dari  ekosistem mangrove.
 
 Diperkirakan sekitar 20.000-50.000 jenis jamur dapat berasosiasi  dengan  insekta, dan 261 jenis sebagai ‘lichen fungi’ berhasil  diidentifikasi dan diinventarisasi hanya di Hong Kong,  dimana 176 jenis  di antaranya sebagai ‘new record’.  Dari informasi itu menunjukkan  bahwa kemungkinan masih banyak habitat-habitat yang sebenarnya  berpotensi menyimpan keragaman jamur yang spesifik dan unik, tetapi  belum tereksplorasi secara optimal. Dengan melihat karakteristik  morfologi, genetika, dan fisiologi jamur, maka tidak menutup kemungkinan  bahwa kawasan
 tropismengandung keragaman jenis jamur dengan aktivitas fisiologi yang spesifik pula.
 
 Hutan hujan tropis memiliki kekayaan tumbuhan yang tinggi dan  sekaligus merupakan sumber kayu dan serasah.  Jamur saprobik penghasil  enzim-enzim selulase, hemiselulase, dan ligninase yang mendegradasi  jaringan tumbuhan (kayu dan serasah) dan melepaskan nutrisi hasil  metabolismenya kembali ke lingkungan. Kawasan ini juga dikenal  mengandung banyak jenis tumbuhan endemik. Suatu pertanyaan mendasar  sering muncul, apakah kelompok jamur yang mendegradasi tumbuhan mati dan  serasah merupakan kelompok jamur yang unik dan spesifik? Beberapa hasil  penelitian menunjukkan bahwa keragaman hayati
 jamurpendegradasi kayu atau jaringan tumbuhan yang lapuk/serasah  adalah tinggi. Sekitar 68-74% jenis jamur saprobik dari serasah dua  jenis tumbuhan yang berbeda di hutan tropis Queensland adalah spesifik.  Lebih dari 240 jenis jamur saprobik yang berasosiasi dengan tiga jenis  Licuala di hutan di Brunei adalah juga spesifik, dan data-data tersebut  tidak termasuk jamur pada habitat rizhosfer (perakaran) dan daun  (phylloplane). Keragaman hayati jamur (kelompok jamur saprobik) yang  berasal dari inang yang kekerabatannya jauh secara filogenetik adalah  tinggi, walaupun inangnya tumbuh di ekosistem
 yangsama. Keseluruhan informasi tadi menunjukkan begitu besarnya  potensi hutan hujan tropis sebagai ekosistem yang mengandung kekayaan  jamur yang tinggi.
 
 Jamur saprobik sering dikategorikan sebagai kelompok jamur yang  tidak spesifik terhadap inangnya dan dapat tumbuh di mana saja. Akan  tetapi, hasil studi keragaman jamur dari bambu-bambuan, Arecaeceae,  Pandanaceae, dan Musaceae di daerah tropis menunjukkan bahwa banyak  jamur saprobik ternyata unik dan spesifik terhadap inangnya, dan bahkan  spesifik terhadap organ inangnya! Contohnya, keragaman jamur yang tumbuh  di daun palm berbeda dengan keragaman jamur yang tumbuh di ‘rachid’ dan  ‘petiol’ dari spesies palm yang sama. Ada suatu wacana hipotesis bahwa  faktor
 penunjangendemisitas jamur saprobik terhadap inangnya atau organ  inangnya disebabkan karena perubahan ‘life mode’ dari endofit sewaktu  inangnya masih hidup menjadi saprobik pada saat tumbuhan inangnya mati  atau salah satu bagian organnya mati. Mayoritas dari jamur endofit  diketahui spesifik terhadap inangnya karena kelompok jamur ini harus  beradaptasi dengan mekanisme kekebalan tubuh tumbuhan inangnya, dan juga  terlibat secara langsung dalam mekanisme kekebalan tubuh inangnya.  Hipotesis ini diperkuat oleh hasil penelitian lain yang mengungkapkan  beberapa marga jamur saprobik pada
 palmseperti Glomerella, Ophioceras, Oxydothis, dan Pestalotiopsis juga merupakan endofit pada palm Trachycarpus fortunei.
 
 ‘The missing fungi’: Apakah Indonesia memiliki jawabannya?
 
 Mengingat Indonesia mempunyai sekitar 10% dari total flora di planet  bumi (sekitar 30.000-40.000 jenis tumbuhan), diperkirakan Indonesia  memiliki potensi kekayaan hayati jamur sekitar 180.000-240.000 jenis  (12-16% dari total perkiraan 1,5 juta jenis). Sayangnya, hanya kurang  dari 5.000 jenis saja yang sudah teridentifikasi dan terinventarisasi  sampai saat ini.  Dengan adanya informasi tadi maka muncul pertanyaan:  “Apakah kita bisa mengatakan bahwa Indonesia kaya akan keragaman hayati  jamur (atau mikroba pada umumnya)?” Sebagai peneliti, sudah menjadi  kewajiban
 untukmenjawabnya dengan data-data ilmiah dan bukan dengan retorika  atau perkiraan. Kelompok-kelompok jamur seperti jamur pada tumbuhan  hidup, jamur yang berasosiasi dengan eksudat tumbuhan, jamur yang  berasosiasi dengan tumbuhan mati, jamur yang berasosiasi dengan jamur  dan mikroorganisme lainnya, jamur yang berasosiasi dengan vertebrata,  jamur yang berasosiasi dengan invertebrata, jamur di perairan tawar, air  laut, lingkungan ekstrim, jamur pada kotoran hewan, dan lain  sebagainya, masih menunggu untuk dieksplorasi.
 
 Mengapa jumlah jenis jamur yang teridentifikasi dan terinventarisasi  di Indonesia sangat kecil padahal kita sering beranggapan bahwa  Indonesia memiliki kekayaan jamur (bahkan mikroba) yang tinggi? Banyak  faktor yang menyebabkan lemahnya inventarisasi keragaman hayati jamur  (termasuk mikroba lainnya) di Indonesia. Faktor-faktor ini termasuk pada  segi sumber daya manusia (taksonomist, mikrobiologist, mikologist),  fasilitas penunjang, dan referensi. Sekarang yang menjadi pertanyaan  adalah: Berapa jumlah peneliti jamur di Indonesia? Sampai sejauh mana  para peneliti yang sudah eksis danberhubungan
 dengan bidang ini dalam mengeksplorasi berbagai macam habitat unik  yang ada di Indonesia? Kalau dibandingkan dengan posisi jamur di tanah  yang hanya mengandung sekitar 5% dari total jamur di planet bumi ini,  maka jamur yang berada di tumbuhan sudah saatnya mendapat perhatian.
 
 Berdasarkan informasi ini, sudah sangat jelas bahwa diperlukan suatu  tindakan nyata dalam mengeksplorasi dan menginventarisasi jamur di  berbagai habitat di Indonesia jika kita masih memiliki harapan atau  tujuan untuk melakukan preservasi kelompok organisme ini untuk keperluan  studi lebih lanjut untuk dimanfaatkan potensinya (Tabel 1). Harapan ini  bisa terwujud jika ditopang dengan usaha yang sungguh-sungguh disertai  penguatan sumber daya manusia, fasilitas penelitian, dan referensi. Satu  hal yang perlu diingatkan bahwa tidak ada taksonomist (khususnya
 mikrobiologist-mikologist-baketriologist)yang menguasai semua taxa!  Kalau ini disadari, mudah-mudahan dalam kurun waktu 10 tahun yang akan  datang, koleksi jamur (termasuk mikroba) di Puslit Biologi-LIPI akan  benar-benar menjadi referensi koleksi di Indonesia, bahkan  inetrnasional.
 
 Sumber : http://www.biologi.lipi.go.id/bio_indonesia/mTemplate.php?h=3&id_berita=160
 | 
0 comments:
Post a Comment